Tuesday, August 17, 2010
Koma Nafta
Aku menyelaraskan langkahku pagi itu, pada tikungan pertama di daerah kemang aku membelokan stir kearah kanan dan parkir di depan kafe kopi tempat aku biasa menghabiskan waktu di luar jam kuliahku. Aku turun dan kala itu hujan deras, seorang pria setengah baya langsung menghampiri pintu mobilku, dia dengan sigap memayungiku dan mengikuti sampai depan pintu kafe. Tukang parkir yang setiap harinya bekerja di halaman parkir kafe kopi telah mengenalku lama sejak pertama aku menginjakkan kaki di kafe ini sekitar 5 tahun lalu saat aku masih mengenakan seragam putih abu-abu. Aku mengucapkan terima kasih dengan senyum simpul dan segera masuk pintu kafe, seorang yang ada di dalam kafe membuka pintu untukku, dan aku pun memberikan senyum simpulku lagi. Aku memilih tempat biasa, kebetulan meja di sudut ruangan yang sedikit tenang itu tidak ada yang menempati, aku duduk dan meletakkan tas selempangku di atas meja, seorang pelayan menghapiriku dan menyodorkan selembar kertas menu.
“Nggak kuliah mba?” Tanya pelayan itu ramah padaku, aku hampir mengenal semua pelayan di kafe ini, bahkan aku pun kenal dengan pemilik kafe ini.
“nggak ko, hari ini dosennya nggak enak” jawabku dengan sedikit mencibir dosen kampusku. Kala mendengar celotehan yang tidak terlalu penting dari mulutku, dia sedikit terkekeh dan lalu mengeluarkan kertas dan pulpen dari saku untuk mencatat pesananku yang sebenarnya tak pernah berbeda. “biasa aja deh, mau hot coffe sama muffin” aku menutup menu dan memutar bola mataku kearahnya yang sedang mencatat pesanan.
“nggak mau coba yang lain mba? kebanyakan kafein kan nggak bagus” selipnya sedikit mengkritik pesananku.
“hmmmm” aku pura-pura berfikir untuk menghargai sarannya, “nggak usah deh hehehe” aku sedikit terkekeh agar dia tidak tersinggung karna aku sama sekali tak mendengar saran darinya.
Sembari menunggu pesanan aku mengotak-ngatik handphoneku yang tak pernah sibuk dari telpon atau sms lagi, aku membuka gallery foto dan melihat foto-foto yang sudah ribuan kali kulihat. Tak lama pesananku datang, dan aku sedikit rileks karena tak akan ada lagi seorang pun yang akan mengganggu. Aku meletakkan handphoneku di samping cangkir hot coffe ku lalu mengeluarkan buku dan pulpen dari tas selempangku. Kali ini sungguh tak ada inspirasi, tak ada yang bisa aku tulis, ya Tuhan kemana semua imajenasiku selama satu bulan ini? Bagaimana aku bisa menjadi penulis hebat jika aku saja sudah tak menulis selama sebulan belakangan ini? Kemana semua kata-kataku yang digemari banyak orang dan dicetak para penerbit? Semua pergi, benar-benar menghilang dari otakku. Aku coba menulis sebaris kalimat, dan aku membacanya kembali, itu benar-benar tulisan yang kampungan tak sarat dengan makna, lalu aku merobek dan meremasnya. Sekarang di depanku ada ruang putih baru untuk ku menulis, aku cari kata-kata dalam otakku, tapi sungguh tak ada. Ku rasa otakku lelah, ku letakkan pulpen di atas buku dan bersandar sembari menyeruput hot coffe yang sebenarnya sudah tidak hangat lagi, sedikit lebih tenang, lalu aku menyeruputnya lagi, lagi dan hingga tinggal setengah cangkir, sedangkan aku sama sekali belum menyentuh muffinku.
Ketika aku sedang tenang, tiba-tiba handphoneku berdering dan aku sedikit tersentak, aku menggangkat tanpa melihat siapa yang menelpon.
“halo” sapaku setengah terengah
“iya” ternyata telpon dari Nafta, pacarku tersayang. “kamu dimana?” pertanyaannya dingin, dan membuatku khawatir.
“di… di kafe kopi, kenapa?” jawabku sedikit gugup, aku takut terjadi hal yang tidak aku inginkan.
“nggak kuliah?”
“nggak, aku harus selesain tulisanku buat majalah” aku mulai tenang
“oh, aku kesana ya?”
“emang kamu nggak ada kelas hari ini?”
“nggak, aku juga lagi males, aku mau ketemu kamu. Boleh?”
“boleh dong, ya udah aku tunggu ya, emang kamu dimana?”
“aku di rumah, oh iya sekalian aku pengen ngasih kertas yang waktu itu” hah kertas? Ketas apa? Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya.
“ketras?”
Tut tut tut halah sial, sambungannya terputus, mungkin karna cuacanya sedang buruk. Tapi, ketas apa? Aku benar-banar lupa, dan parasaanku mulai tidak tenang lagi.
***
Setelah kurang lebih setangah jam menunggu akhirnya Nafta datang dan langsung mengambil kursi di hadapanku, kembali aku tersenyum simpul dan sedikit menggeser barang-barang mulikku di atas meja agar lebih leluasa. Dia duduk dengan tenang dan sejenak menatapku dalam.
“jalanan macet ya?” tanyaku basa-basi.
“nggak ko, lancar-lancar aja” jawabnya dingin sambil meraih handphoneku yang terletak di atas meja sedari tadi, dia mengutak-ngatiknya entah melihat apa, tapi kemungkinan besar dia melihat sms-sms di situ. “udah lama disini?” dia tetap melihat ke layar handphoneku.
“lumayan, sekitar satu jam yang lalu” jawabku seadanya “kamu bawa mobil?”
“nggak, tadi aku naik taksi” dia tetap konsen dengan handphoneku
“kenapa nggak bawa mobil aja?” aku sedikirt kesal, karena dia tak sedikit pun melihat kearahku saat aku bicara.
“aku tau pasti kamu bawa mobil, jadi ngapain aku bawa mobil juga? Nanti malah enggak bisa pulang bareng lagi hehe” nah, sekarang dia memutar bola matanya ke arahku dan meletakkan handphoneku di meja. Dia tersunyum khas, dengan lesung pipi yang membuatnya tampak manis, matanya yang sayu juga membuat aku sangat tenang menatapnya. “dari sini mau kemana?” tanyanya sambil menggenggam tangan kiriku yang sedari tadi tergelepar di atas meja. Dia sedikit mengelusnya, dan itu benar-benar membuatku sangat merasa damai.
“nggak tau, mungkin langsung pulang. Kamu?” dengan senyuman khas yang ku punya, senyum simpul.
“jalan-jalan dulu yuk!”
***
Mobilku melaju di jalan lembab daerah pondok indah, hari sudah petang dan Nafta terlihat konsen menyetir, aku tidak mengganggunya, aku menatap sekeliling jalan yang kita lewati. Di lampu merah lebak bulus, dia menangguhkan stir tetap lurus, padahal kan harusnya belok kiri.
“Mau kemana?” tanyaku heran.
“gapapa kan kamu pulang malam? Besok kan nggak ada kuliah” dia tetap konsen menyetir.
“Iya, tapi mau kemana?” tanyaku masih penasaran.
“Mau ngajak kamu ke puncak” jawabnya, yang ku kira dia tidak serius.
“hahaha dasar kamu, iya deh ke ujung dunia juga aku ikut asal sama kamu” aku membalas jawabnya yang aku kira bercanda. Dia pun membalasnya dengan sedikit menoleh dan tangan kirinya mengelus kepalaku.
Tak sadar perjalanan yang cukup panjang membuatku tertidur sepanjang.
“La… bangun La udah sampe” Suara Nafta membangunkanku dan jemarinya mengelus pipiku lembut.
“hem aduh maaf maaf” aku membentulkan posisi dudukku dan menyisir rambutku yang berantakan dengan jari lalu menguncirnya asal. Kulihat ke luar jendela, sepanjang pandanganku hanya ada pohon dan lampu-lampu jalan, telingaku berdengung dan aku merasa AC mobil lebih dingin dari biasa. Nafta mematikan mesin mobil dan memberi isyarat kepadaku untuk keluar. Ketika membuka pintu tiba-tiba hawa dingin menyerang tulang-tulangku, aku masih tak dapat mendeskripsikan tempat ini karena aku masih harus menyatukan arwah-arwahku yang melayang kemana-mana ketika aku tertidur. Nafta menghampiriku yang berdiri mematung di samping mobil sambil mengamati sekitar, dia melepaskan jaketnya dan mengalungkan lengan jaket di leherku sampai seluruh badan jaket membalut tubuhku.
“Ini dimana?” tanyaku sambil mengikuti langkahnya.
“hehehe” ia malah setengah tertawa sambil menuntunku, melihat jalan dengan seksama, karena jalan sedikit berkerikil. “kamu nggak liat? Masa nggak tau ini dimana?” ya Tuhan, aku melihat jejeran penjual jagung bakar, ini di Puncak. Nafta benar-benar menbawaku ke tempat ini.
“Puncak?” aku menghentikan langkah mengamati jejeran tukang jagung bakar.
“Iya hahahha, kaget ya?” dia setengah menarikku untuk melanjutkan langkah dan menuntunku duduk di salah satu kios jagung bakar.
Aku masih mengamati sekitar, apa ini mimpi atau bukan. Mengapa dia tiba-tiba membawaku ke tempat ini, setelah sekian lama aku tak pernah jalan-jaln lagi dengannya.
“heeem dingin ya?” dia menggenggam kedua tanganku dan menghangatkannya, hangat itu langsung menjilati seluruh tubuhku, dan sekarang aku merasa hangat.
“kenapa tiba-tiba kesini?” heranku dengan menatapnya dalam, mencoba mencari sedikit celah untuk mengetahui apa yang sedang ia fikirkan.
Dan tiba-tiba genggamannya semakin erat, dia mengangkat daguku dan memberi isyarat agar aku menatapnya dengan seksama, dia menrawang bola mataku melihatnya dalam, hingga aku merasa mulai khawatir. “aku…” dia memutus perkataanya dan itu membuat aku sangat penasaran, aku bergeser mendekatkan tubuhku beberapa inci agar dapat mendengarnya dengan jelas, aku tak mau melewatkan satu kata pun yang keluar dari mulutnya. “Mungkin nggak pernah sebelumnya terpikir oleh kamu, aku akan mengatakan ini” kalimat itu, begitu sempurna membuat aku tambah berkonsentrasi, menunggu ia cepat menyelesaikan apa yang ingin ia bicarakan. “ini” dia melepas genggamannya dan memberiku secarik kertas yang dilipat-lipat. Aku melihat Nafta heran dan dia bagai memerintahkan aku untuk segera membuka dan melihat ada tulisan apa di dalam kertas itu.
My dearest Lala,
Daftar kekhilafan kamu yang aku rasakan selama ini :
1. kamu terlalu banyak menghabiskan waktumu dengan kertas dan pulpen, juga dengan kata-kata yang sama sekali aku tidak mengerti. Sama sekali kamu tak mengganggap aku butuh kau perhatikan disela-sela hobimu yang satu itu, menulis.
2. dimana kau tempatkan aku? Di bagian terbawah dari teman-temanmu? Sampai aku tak terlihat ketika kamu larut dalam obrolan teman-temanmu di kampus, bercanda dan tertawa terbahak-bahak diatas aku yang sangat mengharapkan kau menghampiriku dan bertanya apa aku kesepian atau tidak?
3. Apa yang kamu fikirkan ketika kamu sedang emosi? Apa hanya aku? Hanya aku orang yang ada di otakmu untuk kau marahi ketika bertemu, untuk kau luapkan semua amarahmu, untuk kau bentak-bentak saat aku saja tak tau apa masalahmu, tapi apa kau tak berfikir aku? Aku yang juga mempunyai masalah dan sangat hancur menerima hantaman kata-kata dari marahmu itu
4. Dan apa aku harus menunggu berjam-jam disuatu tempat dengan waktu yang berulang-ulang setiap kau beralasan, “aku terjebak macet sayang”, atau kau harus mengurusi ini itu yang sama sekali aku tak mengerti. Dan ketika kau datang, apa kau tak berfikir untuk sekedar bertanya apa yang aku lakukan ketika menunggumu.
5. Dimana kau? Saat aku butuh kau mengerti bahwa aku cemburu melihat tingkah lakumu yang ramah kepada semua teman priamu, sampai mereka merasa bisa menggantungkan harapan kepadamu walau kau masih mempunyai aku.
6. Apa kau mendengar setiap laranganku? Yang hanya sekedar untuk membuatmu tidak pergi tanpa batas, aku tak mau kau pergi terlalu jauh, karena aku sangat menyayangimu
7. apa hanya dengan alasan “kamu harus percaya sama aku”? aku harus menunggu smsmu dengan lama, dan ketika smsmu masuk aku hanya mendapati barisan tulisan yang dingin, sama sekali membuatku kecewa, tak ada kata yang mencerminkan kau rindu denganku selama waktu kita belum sempat bertemu.
8. Aku hanya manusia biasa, aku tau kau begitu hebat, kau dikagumi banyak orang, kau dicintai beberapa pria dan apa kau tau? Bahkan di hawa yang sedingin ini pun aku merasa api-api cemburu menjalari seluruh tubuhku tanpa terkecuali, apa kau pernah memikirkan bahwa aku hancur melihat kelakuanmu yang tanpa batas, kau tak menganggap aku sebagaimana mestinya, dan kau tak pernah bertanya seberapa besar cinta yang ku punya untukmu. Atau kau memang sama sekali tidak ingin mengetahuinya, karena kau tidak akan pernah bahagia, ketika aku rela melakuan hal apa saja demi melindungimu.
9. apa yang kau lihat dari aku? Yang kau tau aku selalu bahagia, aku memberikan senyumku selalu untukmu, dan kau fikir aku tak punya beban seberat beban yang kau punya, aku tak memiliki emosi yang sewaktu-waktu ingin aku luapkan seperti kamu melahapku dengan amarahmu.
10. Yang kau tau aku seorang pria yang tak akan menangis, yang akan kuat dengan keadaan apapun dan tak akan sedikitpun menitihkan aitmata jika kau melakukan sesuatu sesuka hatimu. Kau kira aku tidur lelap setiap malamnya tanpa ada air mata. Dan kau perlu tau hanya kau yang membuatku begitu sakit, tapi aku sangat mencintaimu mungkin kau tak akan tau seberapa besar cinta yang kumiliki untukmu dan sama sekali tak ada keinginanku untuk mencintai orang lain selain dirimu.
With Love
Nafta
Aku beku, tak sadar sedari aku membaca surat ini airmataku mengalir dan Nafta hanya menatapku lirih. Ku lipat kembali surat itu dan ku ingat bahwa tempo hari kita sudah berjanji akan bertukar surat yang isinya semua hal yang kita tidak suka dari pasangan, dan aku lupa membuatya. Aku segera meninggalkan Nafta dan menuju mobil untuk merobek selembar kertas dari notebook ku. Ketika ku robek dan hendak aku ingin kembali ke tempat kami duduk tadi, Nafta sudah berdiri di sisi mobil.
“Mana surat untukku?” tanyanya seraya mengulurkan tangannya untuk meminta surat dariku.
Aku melipat kertas yang tadi aku robek dan aku berikan padanya. “itu daftar kesalahanmu padaku selama ini. Kamu sama sekali tak pernah berbuat salah padaku, aku tak pernah mengira bahwa aku menyakitimu begitu dalam, padahal kau memberikan kebahagiaan untukku, mungkin kau benar, aku tak kan pernah tau seberapa dalam kau mencintaiku, tapi yang aku tau kini bahwa aku sangat mencintaimu dan kau pun tak akan pernah mengira bahwa aku mempunyai cinta lebih kepadamu dari pada diriku sendiri” lalu Surya memelukku erat, aku larut dalam pelukannya, aku menangis dan aku merasa beruntung memiliki dia, aku berjanji pada diriku sendiri aku akan merubah semua kelakuanku dan aku akan mengobati luka yang telah ku buat tanpa sengaja di hati Nafta, aku tak akan rela meliahat dia terluka. Dia menyayangiku dan aku pun menyayanginya bahkan dia tak kan mengira sedalam apa cinta yang kupunya dan kesungguhan yang kupegang untuknya. Nafta I Love You So.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
tulisannya bagus dan mengenyangkan imajinasi, boleh juga kalo ikutan lomba novel Dewan Kesenian Jakarta. Hadiahnya total 50 juta loh, berikut infonya... http://b16log.blogspot.com/2010/08/lomba-menulis-novel-dkj-2010.html cekedot yah
ReplyDeletemakasih banyak yaaaa :). makasih juga udah luangin waktu buat baca tulisan saya. hehehe. makasih juga infonya. banyak terima kasih lah pokoknya.
ReplyDelete