Friday, January 14, 2011

Untitle - Sekapur Sirih

SEKAPURSIRIH

Aku Putra, 18 tahun. Aku mencoba menulis tetapi tak tau harus mulai dari titik yang mana. Awalnya hidupku berjalan normal, bahkan diatas rata-rata teman ku yang lain. Sampai tiba-tiba jalan hidupku melaju dengan cepat dan memutar roda nasibku. Tak ingat kapan tepatnya tetapi ruang dan waktu saat itu membuat aku menulis kisah ini, kisah yang ingin ku bagi dengan orang lain, kisah yang singkat tetapi sangat menyakitkan sampai-sampai menutup rasa syukur ku.

Aku mempunyai Riri, dia seorang gadis yang diatas rata-rata temannya, sebagai gadis belasan tahun, dia mampu membawa pada ruang kedewasaan dan kadang membuat masalah menjadi sedikit lebih rumit. Aku mengenal wanita ku ini sudah sekitar 4 tahun, dan dalam 3 tahun belakangan ini kami menjalin hubungan, hubungan yang sangat ku banggakan di depan teman-temanku, hubungan yang membuat iri setiap pasang mata yang melihat lekat ke arah kami, itulah aku dan dia, Riri, wanita milikku 3 tahun belakangan ini. Tak jarang ada yang mengatakan kami mempunyai perawakan yang mirip, jodoh katanya.

Kami bahagia, dan kami menjaga harmonis ini sehati-hati mungkin. Masalah demi masalah terselesaikan dari yang simpel sampai yang rumit, Riri dewasa dan aku mudah mengerti, jadi tak ada masalah yang berarti yang menghantui hubungan kami. Aku pernah menyukai seseorang selain Riri, walau jadi masalah yang sempat membawa hubungan kami di ujung tanduk, tetapi akhirnya dapat terlewati, bahkan masalah itu makin meningkatkan kualitas hubungan kami. Ku lihat makin banyak pasang mata yang berbicara kagum pada kami, pada hubungan ku dan Riri. Tak sersirat apa itu kehilangan, bagaimana rasanya dan dengan cara apa menyembuhkan rasa itu. Kami bahagia dan aku selalu berdoa agar selalu begitu. Tetapi. Seperti yang sudah ku katakan, tiba-tiba saja roda hidup ku berputar, begitu juga dengan hidup Riri.

Setelah kami terpisah, tepatnya berbeda universitas selepas SMA, kebiasaan kami berdua pun berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu kami selalu bersama saat SMA, berangkat sekolah, jajan di kantin, mengerjakan tugas, dan pulang sekolah, masih banyak lagi yang kami kerjakan bersama semasa sekolah dulu, tetapi sekarang tidak ada lagi. Kampus Riri di Depok, dan Kampusku di daerah Jakarta Selatan. Walau tidak jauh sekali, tetapi kami jadi jarang bertemu. Dan hubungan kami dalam keadaan kritis akhir-akhir ini.

Semerter pertamaku dan Riri berjalan dengan baik, aku masih menyempatkan waktuku untuk kadang menjemputnya ke kampus, dan aku pun mengenal sebagian teman-teman barunya. 6 bulan di tempat yang berbeda belum menunjukann masalah yang berarti dan serius, hubungan kami toh masih membuat orang lain kagum, kami terlihat saling setia dan menghargai, juga saling membanggakan satu sama lain. Masuk ke semester kedua, tugas-tugasku mulai menumpuk, dan Riri mulai aktif di kampusnya, kami jadi jarang bertemu, bahkan via handphone pun tidak bisa sering-sering berhubungan. Tugas ku sangat banyak di tambah lagi rumah ku yang tidak dekat dengan kampus, aku kadang harus menginap di rumah teman yang ada di dekat kampus, dan kadang Riri memaksa bertemu, walau tak ada waktu luang pasti aku menyempatkan waktu untuknya. Riri pun berubah, dia jadi curigaan dan tak jarang kami mendebatkan masalah sepele, apalagi jika kita saling sulit bertemu.
Hubungan kami mulai sering diwarnai pertengkaran, aku merasa Riri tidak mengerti keadaanku.

Say goodbye to our memories


Seandainya kau tau aku tak suka keadaan seperti ini.
Kau dan aku berdiam sudah sekitar hampir satu jam. Kita saling duduk berhadapan, tapi mengapa kau tak melihat kearahku? Kau sibuk memperhatikan sekitarmu saja, sedangkan sedari tadi bening terus menetes membanjiri pipi ku. Aku ingin sekali kau peluk, aku ingin kau menenangkanku agar tangisanku berhenti, tetapi seolah tak ada aku di hadapanmu, kau membiarkanku bahkan melihatku pun tidak.
Akhirnya aku menghapus air mata ku sendiri, membetulkan posisi dudukku, dan karna aku bergerak kau pun menoleh, tapi kau tak mengatakan apa-apa. Aku ingin sekali kau peluk sayang, aku tak suka keadaan ini, aku tak suka!!!.
Setelah beberapa menit air mataku tak keluar lagi kau mulai membuka pembicaraan. Apakah harus selama ini kau baru bicara? Setelah beningku banyak tumpah dan aku lelah.
“Maaf aku mengecewakanmu lagi.” Ujarnya dengan nada bersalah, kalimat itu membuat dada ku sesak. “Aku tak pantas untukmu, begitu juga menghapus air mata mu lagi.” Tambahnya, dan itu membuat ku makin sulit bernafas. “Aku merasa begitu bersalah padamu, juga pada diriku sendiri.” Dia menghela nafas panjang, “Dan aku tak ingin melukaimu lebih dalam, mungkin kau akan bahagia jika tidak bersamaku” suaranya makin kecil hampir tak terdengar olehku. Aku tak dapat mencerna perkataannya dengan baik, aku tak ingin dia melanjutkan.
“Tapi aku sangat mencintaimu” entah mengapa aku mengucapkan kalimat itu, dan kantung mataku berusaha keras menahan airmata yang nyaris tumpah.
Dia diam, dan memakan bermenit-menit lagi. Kami kembali dalam intermezzo, tanpa suara dan tanpa interaksi apapun, tetapi kami masih bernafas, seakan semua disekitar kami hening.
Aku sangat mencintaimu Bintang, kita cocok, dan kau sangat pantas memilikiku, kau milikku Bintang, aku tak ingin kau pergi. Aku pun dapat memaafkan semua salahmu, kau tak usah merasa bersalah. Bintang, kau tak ingin mengucapkan pisah kan? Bagaimana dengan ku? Bagaimana bila kau pergi? Aku sayang padamu. Hati ku merengek, tapi tak bisa ku ungkapkan. Yang saat ini keluar hanya air mata yang kembali tumpah, makin terisak dan Bintang semakin mengunci kebisuannya. Aku ingin kau peluk Bintang, mengertilah. Atau sekedar kau genggam tanganku.
“Put, jangan menangis.” Tapi tak bisa berhenti Bintang, aku tak bisa berhenti menangis. “Aku tak tau harus berbuat apa?” peluk saja aku Bintang “Put, apakah aku menyakitimu begitu dalam? Bagaimana caraku mengobatinya? Kau terlihat begitu menderita berpacaran denganku.” Tidak Bintang, aku bahagia denganmu, jangan bilang seperti itu. “Put, kenapa kau diam saja? kau pasti begitu marah padaku.”
Aku tak dapat menjawab pertnayaan Bintang, karna aku tak tau mengapa aku malah menangis, aku bahagia dengannya, tetapi mengapa aku menangis? Baca saja fikiranku Bintang agar kau tau, karna aku tak sanggup mengucapkannya.
Bintang kembali diam, dan intermezzo kembali datang.
“Aku sayang padamu Bintang, kenapa kau bilang kau tak pantas untukku? Kau pantas untukku, bahkan sangat pantas. Aku mencintaimu Bintang, kau tidak menyakitiku, aku hanya takut kehilanganmu. Mengapa kau selalu menyalahkan dirimu dan membuatku merasa ragu? Aku harus bagaimana agar kau tau bahwa aku tak ingin kehilanganmu? Aku hanya ingin kau peluk atau sekedar kau genggam aku, lukaku sembuh dengan pelukan. Tapi kenapa kau tidak melakukannya? Apa kau menunggu aku yang memintanya?” suaraku tinggi, dan bibirku gemetar juga beningku makin menjadi-jadi. Bintang hanya diam dengan menatapku lekat-lekat. Aku mencoba menarik semua oksigen di sekitarku, mencoba meredam emosi, dan aku menunduk.
Tiba-tiba saja Bintang berdiri dan beranjak meninggalkanku sendiri di tengah taman. Aku tak dapat melakukan apapun, aku pasrah jika akhirnya Bintang benar-benar pergi meninggalkanku. Aku pun tak ingin menahannya. Dan ku pastikan aku mati saat ini, tak ada asupan oksigen lagi, beningku pun membeku dan dingin menusuk tulang-tulangku malam ini. Kenyataan makin harus aku terima, bahkan aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal padanya. Pada Bintang yang sangat aku cintai. Aku tertunduk lemas di meja taman, kusandarkan keningku diatas lengan yang ku lipat dan ku kulaikan di atas meja taman, kupejamkan mata dan lama-lama tak terdengar apapun dari sekitarku, suasanapun semakin dingin, dan aku serasa tak menyentuh tanah lagi, serasa melayang, tapi apa peduliku? Aku tetap asik dalam dunia intermezzo yang menyakitkan ini.
Dalam gelapku, aku tak melihat apapun sampai akhirnya di sudut pejamku, aku melihat ada cahaya yang semakin mendekat. Dan lama-lama menyilaukan mataku. Aku tersentak dan menegakkan tubuhku juga membuka mataku, ternyata aku masih di taman yang gelap dan dingin. Lalu…………….
Lalu ada seseorang yang memelukku dari belakang, sekarang aku merasa ada kehangatan yang menjilati tubuhku. Dan oksigen kembali dapat ku hirup.
“Putri, aku juga sangat mencintaimu. Aku pun tak ingin pergi darimu. Aku akan memelukku bahkan tanpa kau pinta, aku akan terus menjagamu, aku tau aku pantas untukmu, dan kau memang milikku Put. Aku tak akan meninggalkanmu, dan aku akan setia menghapus air matamu, aku akan terus mencoba membahagiakanmu Put. I love you” Bintang membiskikan itu padaku. Aku pun berdiri dan berbalik badan, melihat kearah Bintang dan dia tersenyum, dia baru saja menyembuhkan lukaku. Aku pun berbalik memeluknya, memeluknya dengan erat, aku tak ingin dia pergi dan aku tak ingin kehilangan dia. Semakin erat aku memeluknya dan ia pun memelukku.
“Jangan pergi Bintang, aku butuh kau bimbing” aku menangis haru dalam pelukannya.
“Aku mencintaimu Put, sangat mencintaimu.” Dia makin memelukku, dan kami sekarang berada dalam saat-saat terindah, dan aku tak ingin mengakhirinya. Kami saling mencintai, kami selalu bersama bukan karna terbiasa, tetapi karna kami tak ingin saling kehilangan. Sekarang tak akan ada lagi aku, yang ada adalah aku dan Bintang.